anwarsigit blog information

Berikut Ini Sejarah Suku Bugis

Berikut Ini Sejarah Suku Bugis

Berikut Ini Sejarah Suku Bugisanwarsigit.com – Sejarah Suku Bugis, Rumah Adat, Bahasa, Budaya, Kesenian dan Keadaan Geografis merupakan salah satu suku yang ada di pulau Sulawesi. Marga Bugis saat ini berada di pulau Sulawesi serta telah menyebar ke seluruh Indonesia.

Sejarah Orang Bugis

Orang Bugis memiliki berbagai macam ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang ditemukan di Nusantara.

Mereka memiliki pilihan untuk mendirikan kerajaan yang tidak memiliki pengaruh India dengan cara apapun. Juga, tanpa menetapkan kota sebagai titik fokus aktivitas mereka.

Orang Bugis juga memiliki sastra, baik lisan maupun tulisan. Berbagai karya sastra tulis yang diciptakan berdampingan dengan tradisi sastra lisan, hingga saat ini masih terus diteliti dan diduplikasi.

Perpaduan tradisi sastra lisan dan tulis ini kemudian melahirkan salah satu epos sastra terbesar dunia, La Galigo, yang naskahnya lebih panjang dari epos Mahabharata.

Selanjutnya sejak abad XVII, Setelah memeluk Islam, orang Bugis dengan orang Aceh dan Minang Kabau dari Sumatera, orang Melayu di Sumatera, orang Dayak di Kalimantan, orang Sunda di Jawa Barat, orang Madura di Jawa Timur ditandai sebagai individu dari nusantara dengan identitas Islam terkuat.

Bagi masyarakat Bugis menjadikan Islam sebagai bagian dasar dan esensial dari kebiasaan sosial mereka. Namun, pada saat yang sama mereka tetap mempertahankan berbagai kepercayaan dari warisan pra-Islam hingga abad kedua puluh. Salah satu peninggalan dari masa pra-Islam yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Bissu (Pendeta Waria).

Bagi suku-suku lain di sekitarnya, orang Bugis dikenal sebagai pribadi yang keras dan sangat menghargai kehormatan. Jika perlu, demi kehormatan mereka, orang Bugis akan melakukan tindakan kebiadaban meski nyawa mereka dipertaruhkan. Namun dibalik sifat kerasnya tersebut, individu Bugis juga dikenal sebagai pribadi yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi.

Orang Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah Bugis adalah orang Portugis. Pedagang Eropa pertama kali tiba di pantai barat Sulawesi Selatan pada tahun 1530. Namun, pedagang Portugis yang berbasis di Malaka baru menjalin hubungan yang menyenangkan di bidang pertukaran secara konsisten pada tahun 1559.

Asal Usul Orang Bugis

Awal mula masyarakat Bugis masih samar dan pasti berbeda dengan wilayah Indonesia. Bagian barat Sulawesi Selatan tidak memiliki monumen (Hindu atau Buddha) atau prasasti baik yang terbuat dari batu atau logam, yang memungkinkan referensi yang cukup untuk mengikuti sejarah Bugis dari abad SM hingga ketika sumber-sumber tertulis barat berlimpah. . tersedia. Sumber tertulis terdekat yang dapat diandalkan hanya berisi data abad kelima belas dan yang lebih baru,

Kronik Bugis

Hampir semua kerajaan Bugis dan semua wilayah bawahannya hingga yang paling bawah memiliki sejarahnya sendiri.

Dari kerajaan terbesar dan paling luar biasa hingga kerajaan terkecil, akan tetap ada beberapa kronik yang memandang seluruh wilayah di sekitarnya sebagai satu kesatuan.

Naskah-naskah yang dibuat oleh orang Makassar dan Bugis yang disebut lontara oleh orang Bugis berisi catatan rinci tentang garis keturunan keluarga terhormat, wilayah kerajaan, buku harian, serta berbagai data lain seperti daftar kerajaan atau daerah bawahan, teks perjanjian dan hubungan. partisipasi di antara pekerjaan dan semuanya disimpan di istana atau rumah para bangsawan

Marga Bugis termasuk dalam suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah masuknya arus pertama pergerakan dari kawasan Asia tengah, tepatnya Yunan. Bugis berasal dari kata To Ugi yang artinya orang Bugis.

Penamaan “ugi” mengacu pada penguasa pertama kerajaan Cina di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, tepatnya La Sattumpugi. Ketika orang-orang La Sattumpugi menyebut diri mereka sendiri, mereka mengacu pada tuan mereka.

Mereka menyebut diri mereka To Ugi atau individu atau pengikut La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan saudara dari Batara Lattu, ayah dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di planet ini dengan jumlah sekitar 9000 halaman folio.

Sawerigading Opunna Ware (Yang di Ware) adalah cerita yang terdapat dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi individu Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Keadaan Geografis dan Demografis

Orang Bugis kuno membayangkan bahwa nenek moyang mereka adalah penduduk asli yang telah dikunjungi oleh inkarnasi langsung dari dunia atas yang turun (manurung) atau dari dunia tersembunyi yang naik (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).

Orang Bugis sangat percaya pada hal to manurung, ada sedikit perbedaan penilaian tentang sejarah ini. Sehingga setiap individu yang beretnis Bugis tentu mengetahui awal mula keberadaan komunitasnya.

Kata Bugis berasal dari kata ugi yang artinya orang Bugis. Nama “ugi” mengacu pada penguasa pertama kerajaan Cina (bukan Cina, melainkan di semenanjung Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo sekarang) khususnya La Sattumpugi.

Ketika individu LaSattumpugi menyebut diri mereka sendiri, mereka mengacu pada penguasa mereka. Mereka menyebut diri mereka To Ugi atau individu/pengikut La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware (Yang Dipertuan Di Ware) adalah cerita yang terdapat dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.

Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi individu Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Sulawesi.

Ibukotanya adalah Makassar, sebelumnya disebut “Ujungpandang”. Sampai dengan Juni 2006, jumlah penduduk terdaftar di Sulawesi Selatan adalah 7.520.204 orang, dengan persebaran 3.602.000 laki-laki dan 63.918.204 perempuan serta memiliki relief berupa semenanjung yang memanjang dan datar yang dipisahkan sehingga tidak ada titik daratan yang lebih jauh dari 90 km dari garis pantai.

Kondisi seperti itu membuat Pulau Sulawesi memiliki garis pantai yang panjang dan sebagian daratannya bergunung-gunung.

Provinsi Sulawesi Selatan terletak pada 0°12′ – 8° Lintang Selatan dan 116°48′ – 122°36′ Bujur Timur. Wilayahnya adalah 62.482,54 km².

Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat, dan Laut Flores di selatan. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, pulau Sulawesi dihuni oleh manusia.

Peninggalan pembangunan sekitar kemudian ditemukan di gua-gua kapur di wilayah Maros, kira-kira 30 km dari Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan.

Peninggalan prasejarah lainnya seperti alat batu peeble dan chip serta fosil babi dan gajah tersingkir, dikumpulkan dari teras sungai di Lembah Wallanae, antara Soppeng dan Sengkang, Sulawesi Selatan.

Selama era pertukaran rempah-rempah yang cemerlang pada abad kelima belas hingga kesembilan belas, Kerajaan Bone dan Makassar menjadi pintu gerbang ke pusat penghasil rempah-rempah, Kepulauan Maluku.

Sejarah ini semakin memantapkan penilaian bahwa Sulawesi Selatan memiliki tugas yang sangat strategis bagi kemajuan Indonesia Timur.

Jumlah penduduk di Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku utama, yaitu Toraja, Bugis, Makassar, dan Mandar.

Marga Toraja terkenal dengan tradisi menarik yang harus terlihat pada upacara kematian, rumah adat dengan atap lengkung dan ukiran indah dengan warna alami. Sedangkan suku Bugis, Makassar dan Mandar dikenal sebagai pelaut yang enerjik.

Dengan perahu layar tradisional mereka, Phinisi, mereka mengembara sejauh utara Australia, beberapa pulau di Samudra Pasifik, dan bahkan sampai ke pantai Afrika.

Hasil penelitian sejarawan Australia Utara bernama Peter G. Spillet M, mengungkap salah satu fakta yang tak terbantahkan bahwa individu Sulawesi Selatan yang pertama kali mendarat di Australia dan bukan Abel Tasman (Belanda) atau James Cook (Inggris) pada tahun 1642.

Upaya meluruskan fakta sejarah tersebut dilakukan oleh Peter yang kemudian diberi nama Daeng Makulle secara cermat melalui jejak-jejak, buku-buku sejarah sebagai hubungan antara masyarakat Makassar dengan masyarakat Aborigin (Merege). Orang Makassar muncul di sana dengan transportasi perahu.

Teknologi dan Peralatan Kehidupan

Dengan dibuatnya perangkat keras untuk kehidupan yang berbeda, maka perlahan tapi pasti, permintaan untuk kehidupan individu, berlangsung secara berkelompok, kemudian membentuk komunitas, jalannya tindakan akan didasarkan pada sifat-sifat roda gigi selamanya.

Perlengkapan hidup ini juga bisa disinggung sebagai hasil dari manusia dalam pembuatannya. Dalam bahasa yang sama, penciptaan sebagai perangkat keras fisik disebut inovasi dan proses penciptaannya dikatakan sebagai ilmu di bidang perancangan.

Sejak zaman dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan dikenal sebagai pelaut yang ulung. Mereka benar-benar mahir menjelajahi lautan dan samudera luas ke berbagai daerah di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.

  • Perahu Pinisi

Perahu Pinisi merupakan alat transportasi laut tradisional bagi masyarakat Bugis yang sudah terkenal sejak lama. Seperti yang ditunjukkan oleh cerita dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sebelumnya ada sekitar abad keempat belas Masehi.

Sesuai teks, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan pembuatan perahu diambil dari welengreng (pohon dewata) yang dikenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh.

Namun, sebelum pohon tersebut ditebang, diadakan kebaktian khusus terlebih dahulu agar penjaga berpindah ke pohon lain. Sawerigading membuat perahu untuk berlayar ke Cina untuk melamar seorang putri Cina bernama We Cudai.

Versi singkatnya, Sawerigading berhasil mempersunting Putri We Cudai. Setelah cukup lama tinggal di Cina, Sawerigading merindukan lingkungan lamanya. Dengan menggunakan perahu tuanya, ia berlayar ke Luwu.

Namun, ketika perahunya hendak masuk ke pantai Luwu, tiba-tiba ombak besar menghantam perahu itu dan pecah.

Serpihan perahu itu terdampar di 3 (tiga) tempat di Kabupaten Bulukumba, tepatnya di Desa Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Oleh perseorangan dari ketiga desa tersebut, bagian-bagian perahu tersebut kemudian disusun kembali menjadi perahu yang megah dan disebut dengan Perahu Pinisi.

Hingga saat ini Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai pembuat Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya masih mengikuti tradisi pembuatan perahu khususnya di Desa Tana Beru. .

  • Sepeda Dan Bendi

Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini adalahbukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnyamasyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutamatanaman padi sebagai bahan makanan pokok.

  • Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya

Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melaluikoleksi trdisional menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjatatajam, baik untuk penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacaraadat.

  • Koleksi Peralatan Tenun Tradisional

Dari bermacam-macam Alat Tenun Tradisional ini, terlihat bahwa liku-liku budaya di Sulawesi Selatan diperkirakan sudah dimulai dari zaman prasejarah, lebih tepatnya mengamati berbagai jenis benda cagar budaya di beberapa daerah seperti Kabupaten Leang – Leang Maros yang diperkirakan menjadi pendukung pembuatan pakaian dari kulit kayu dan serat tumbuhan.

Ketika pengetahuan manusia sekitar saat itu mulai berkembang, mereka menemukan cara yang lebih baik, yaitu alat tenun yang menggunakan benang kapas sebagai bahan mentah. Dari sinilah berbagai jenis pola bahan saung dan pakaian adat mulai dibuat.

Rumah Adat Bugis

Rumah Bugis memiliki keunikan tersendiri, berbeda dengan rumah panggung suku lain (Sumatera dan Kalimantan). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tambahan tambahan pada struktur utama dan bagian depan, masyarakat Bugis menyebutnya lego.

Berikut adalah bagian-bagian utamanya :

  1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi padaumumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
  2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliripaling tengah tiap barisnya.Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong
  3. Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian,bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawah (paratiwi ). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis ( terutama yang tinggaldi kampung ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi

Bagian bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :

  1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit langit ( eternit ). Dahulu biasanyadigunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
  2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
  3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengantanah.Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah inidapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakankayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.

Dalam budaya suku bugis terdapat tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang budaya orang bugis, yaitu konsep ade, siri na pesse dan simbolisme orang bugis adalah sarung sutra.

1. Konsep ade

Ade yang dalam bahasa Indonesia adalah adat istiadat. Bagi masyarakat bugis, ada empat jenis adat yaitu :

  • Ade maraja, yang dipakai dikalangan Raja atau para pemimpin.
  • Ade puraonro, yaitu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara turun temurun,
  • Ade assamaturukeng, peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
  • Ade abiasang, adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam masyarakat.

Seperti yang ditunjukkan oleh Lontara Bugis, ada lima prinsip dasar ade, khususnya ade, bicara, rapang, wari, dan sara. Ide ini lebih dikenal dengan panngadereng. Ade merupakan wujud dari sikap adaptif terhadap berbagai jenis peraturan di masyarakat.

Rapang mengacu pada model perilaku yang dapat diterima yang harus diikuti oleh masyarakat. Sementara itu, wari menjadi tolok ukur dalam hal hereditas dan hierarki masyarakat sara, khususnya standar syariat Islam. Siri memberikan prinsip tegas bagi cara berperilaku orang Bugis.

Seperti yang ditunjukkan oleh pepatah Bugis, hanya individu yang memiliki siri yang dianggap manusia. Naia tahu de’e sirina, delaina olokolo’e. Siri’ e mitu tariaseng lho. Artinya barangsiapa tidak memiliki siri, maka dia bukanlah apa-apa, melainkan hanya makhluk. Namun, saat ini adat-istiadat tersebut umumnya tidak dilakukan karena pengaruh budaya Islam yang masuk sejak tahun 1600-an

2. Gagasan siri’

Pentingnya “siri” dalam masyarakat Bugis begitu signifikan sehingga ada pepatah Bugis yang mengatakan “SIRI PARARENRENG, NYAWA PA LAO”, dan itu berarti: “Jika harga diri telah dihancurkan, maka nyawa adalah biayanya”. Dalam masyarakat Bugis, hilangnya harga diri harus dibalas dengan mengorbankan nyawa oleh pihak lawan, bahkan orang yang bersangkutan.

Siri’ Na Pacce secara harfiah berarti Siri’ artinya: Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang artinya: Sakit/Pedas (Pendirian Keras, Kokoh). Jadi Pacce berarti semacam kapasitas untuk menghargai siapa pun pada tingkat yang mendalam untuk berbagi kejengkelan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan simpati).

Kata Siri’ dalam bahasa Makassar atau Bugis berarti “malu”. Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) sebenarnya bisa diartikan “bukan hati” atau “kasihan” atau “kasihan”. Struktur Siri’ dalam budaya Bugis atau Makassar memiliki empat kategori, lebih spesifiknya:

  • Siri’ Ripakasiri’, Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
  • Siri’ Mappakasiri’siri’, Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
  • Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
  • Siri’ Mate Siri’, Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yangmate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.

Guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.

Sistem Mata Pencaharian

Wilayah marga Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir bagian selatan pulau Sulawesi. Dataran ini memiliki tanah yang subur, sehingga banyak orang Bugis yang hidup sebagai petani.

Selain sebagai petani, orang Bugis juga dikenal sebagai nelayan dan pedagang. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka memiliki tanah yang subur yang cocok untuk bercocok tanam, sebagian besar kerabat mereka adalah pelaut.

Orang Bugis mencari selamanya dan mempertahankan kehidupan dari laut. Tidak sedikit orang Bugis yang pindah ke pelosok negeri dengan menggunakan perahu Phinisi mereka.

Sebetulnya, kepiawaian orang Bugis dalam mengarungi lautan sangat menonjol hingga ke luar negeri, antara lain di luar negeri, seperti Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar, dan Afrika Selatan.

Klan Bugis dikenal sebagai klan yang hidup berkelok-kelok. Beberapa dari mereka, sangat suka berkeliaran untuk bertukar dan mencoba bertahan di wilayah orang lain. Hal ini juga disebabkan oleh komponen sejarah individu Bugis itu sendiri di masa lalu.

budaya bugis1. Perkawinan yang ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:

  • Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
  • Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
  • Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.

Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.

2. Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:

  • Anak dengan ibu atau ayah.
  • Saudara sekandung.
  • Menantu dan mertua.
  • Paman atau bibi dengan kemenakannya.
  • Kakek atau nenek dengan cucu.

3. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan adalah

  • Mappuce-puce, yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
  • Massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
  • Maduppa, yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.

Bahasa Suku Bugis

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan oleh suku Bugis di Sulawesi Selatan yang tersebar di sebagian Kabupaten Maros, sebagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-Pare, Kabupaten Pinrang, sebagian Kabupaten Enrekang, sebagian Kabupaten Majene, Luwu Kabupaten, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki tulisan tradisional yang menggunakan aksara Lontara.

Pada dasarnya, kelompok etnis ini sebagian besar beragama Islam. Menurut perspektif sosial, perkumpulan etnis Bugis memiliki bahasa sendiri yang dikenal sebagai Bugis (juga dikenal sebagai Ugi).

Konsonan dalam Ugi disebut juga Lontara berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis berbicara bahasa Ugi dan telah menulis sastra untuk waktu yang sangat lama sebagai lontar.

Huruf yang digunakan adalah aksara lontara, sistem huruf yang dimulai dari bahasa Sansekerta. Seperti halnya dengan bentuk-bentuk budaya lainnya. Menulis dibuat karena kebutuhan manusia untuk memberikan hasil penalarannya.

Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan dibuat untuk mencatat firman Tuhan, oleh karena itu menulis itu suci dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dilihat manusia, pemikiran manusia juga mengalami perkembangan serta tulisan yang digunakan sebagai jalan keluar untuk memecahkan masalah manusia secara keseluruhan. Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “sebuah keluarga berpikir kritis sosial, dan sistem penulisan apa pun sebagai solusi tatanan dari berbagai masalah terkait” (1989:15)

  1. Alat Untuk Pengingat
  2. Memperluas jarak komunikasi
  3. Sarana Untuk memindahkan Pesan Untuk Masa Yang akan dating
  4. Sebagai Sistem Sosial Kontrol
  5. Sebagai Media Interaksi
  6. Sebagai Fungsi estetik Lontara Bugis-Makassar

Ini adalah surat suci bagi masyarakat Bugis klasik. Hal itu karena la galigo yang mengharukan ini ditulis dengan menggunakan huruf lontara. Huruf lontara digunakan oleh orang Bugis begitu juga huruf lontara juga digunakan oleh orang Makassar dan orang Luwu.

Ketika pujangga Bugis menuangkan pikiran dan hatinya pada daun lontar dan dihiasi dengan huruf-huruf yang begitu indah sehingga tersusun kata-kata indah di atas daun lontara dan karya seni mereka. – karya tersebut berjudul I La Galigo.

Hal yang sama akhirnya disempurnakan di Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis dan Budaya Makassar. Di Sulawesi Selatan ada 3 macam huruf yang digunakan secara bersamaan.

Surat Lontar2. Surat Jangan-Anjing3. Sedangkan bila diatur dalam budaya Bugis, Lontaraq memiliki dua makna yang terkandung di dalamnya. Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan b. Lontaraq sebagai tulisan Kata lontaraq berasal dari bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar.

Mengapa disebut lempar?, karena pada mulanya tulisan itu ditulis di atas daun lontar. Daun lontar ini lebarnya sekitar 1 cm, sedangkan panjangnya tergantung dari cerita yang ditulis. Setiap daun lontar diasosiasikan menggunakan tali dan kemudian digulung pada penjepit kayu, yang bentuknya seperti gulungan pita kaset.

Cara membacanya dari kiri ke kanan. Aksara lontara disebut juga dengan aksara sulapaq eppaq. Karakter Bugis ini diambil dari aksara Pallawa (rekonstruksi aksara dunia yang dibuat oleh Kridalaksana).

Genealogi Naskah Dunia

Memang ada beberapa varian Aksara Bugis di Sulawesi Selatan, namun bukan berarti esensi dasar Aksara Bugis hilang, dan merupakan hal yang lumrah di setiap aksara di dunia ini.

Hanya ada sedikit perubahan dan penambahan yang sama sekali tidak menyimpang dari tipe dasar skrip. Varian disebabkan, selain hal-hal lain

  1. Penyesuaian antara bahasa dan bunyian yang diwakilinya
  2. Penyesuaian antara bentuk huruf dan sarana yang digunakan.

Kesenian Suku Bugis

1. Tari Paduppa Bosara
Tari Padupa Bosara merupakan tarian yang menggambarkan penampilan masyarakat Bugis atau bisa dikatakan sebagai tarian penyambutan dari Suku Bugis. Orang Bugis selalu menyajikan bosara sebagai tanda terhormat ketika tamu datang.

2. Tari Pakarena
Tari Pakarena merupakan tarian khas Sulawesi Selatan, nama Pakarena sendiri diambil dari bahasa daerah, khususnya karena yang artinya bermain. Tarian ini awalnya hanya dipentaskan di istana kerajaan, namun dalam perkembangannya tari pakarena lebih terkenal dikalangan individu.

Tari pakarena memberikan kesan kelembutan. Hal ini mencerminkan kepribadian wanita yang halus, sopan, tabah, patuh dan hormat kepada pria, terutama kepada suaminya. Sepanjang Pementasan Tari Pakarena, para penari selalu mengikuti gerakan halus para penari, sehingga menyulitkan orang awam untuk mengadakan putaran dalam tarian.

3. Tari Ma’badong
Tarian ma’badong hanya diadakan pada saat acara kematian. Para penari membuat lingkaran dengan menghubungkan jari kelingking, penarinya bisa laki-laki atau perempuan. Mereka biasanya berpakaian serba hitam, tetapi terkadang memakai pakaian santai karena tarian ini tersedia untuk masyarakat umum.

Tarian yang hanya digelar pada fungsi passing ini hanya dibawakan dengan gerakan langkah memutar sambil melantunkan lagu Kadang Badong. Lagu tersebut berisi lirik-lirik sejarah umat manusia sejak lahir secara konyol, sehingga arwah Orang Mati diakui di tempat yang ada arwah atau alam baka. Tarian Badong biasanya berlangsung sangat lama, seringkali berlangsung sepanjang malam.

Tarian Ma’badong biasanya dibawakan secara khas pada acara upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga hari tiga malam khusus untuk kaum bangsawan di daerah Tana Toraja Sulawesi Selatan.

4. Tari Pa’gellu
Tari Pagellu merupakan salah satu tarian dari Tana Toraja yang dibawakan pada pesta Tambu Tuka. Tarian ini juga dapat dibawakan untuk mengajak para patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan gembira.

5. Tarian Mabbissu
Tari Mabissu adalah tarian bissu yang biasanya dibawakan pada saat upacara adat. Para penari bissu (individu yang tidak peka) yang selalu menampilkan kesaktiannya sebagai tarian komunitas bissu dapat ditemukan di kawasan Pangkep Sigeri, Sulawesi Selatan.

6. Tarian Kipas
Fan dance adalah tarian yang menunjukkan kepiawaian para gadis dalam memainkan kipas angin dengan alunan lagu yang elegan.

7. Gandrang Bulo
Gandrang Bulo merupakan pameran musik dengan perpaduan tari dan pidato. Nama gandrang bulo sendiri diambil dari gabungan dua suku kata yaitu gendang dan bulo, dan bila dirangkai berarti gendang yang terbuat dari bambu. Ganrang Bulo adalah seni pertunjukan yang mengekspresikan kritik dan dikemas dalam lelucon atau candaan.

8. Harpa
Kecapi merupakan salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis. Baik itu Bugis Makassar atau Bugis Mandar. Seperti yang ditunjukkan oleh sejarah, kecapi diramu atau dibuat oleh seorang pelaut sehingga bentuknya menyerupai perahu. Kecapi, biasanya dilanjutkan sebagai musik cadangan pada acara penyambutan tamu di pesta pernikahan, hajatan, bahkan hiburan di hari ulang tahun.

9. Drum
Gendang merupakan alat musik perkusi yang memiliki dua bentuk dasar, yaitu melingkar dan bulat tertentu seperti rebana.

10. Angin Kayu
Ada tiga jenis suling bambu, yaitu:

  • Suling Panjang (Suling Lampe) yang memiliki lima lubang nada dan jenis suling ini telah punah.
  • Suling calabai (siling ponco) suling jenis ini sering dipadukan dengan biola, kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
  • Suling dupa Samping (musik bambu) musik bambu masih sangat terpelihara biasanya digunakan pada acara karnaval atau acara penjemputan tamu.

Rumah Adat Suku Bugis

Setiap budaya memiliki ciri khas masing-masing rumah adat. Begitu juga dengan orang Bugis, rumah adat Bugis terdiri dari tiga bagian. Dimana Trust terdiri dari:
1. Boting Langiq (Perkawinan di atas kepala oleh We Tenriabeng)
2. Lager Kawaq (Di bumi. Keadaan yang terjadi di Bumi)
3. Buri Liu (Surga/Underworld/Laut) yang masih percaya itu

Rumah ini dapat berdiri tanpa menggunakan satu paku pun ketika orang dahulu menggantikan kapasitas paku besi menjadi paku kayu.

Rumah adat Bugis Makassar dapat dibedakan berdasarkan status sosial individu yang memilikinya,

  • Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang di tempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan)
  • bola adalah rumah yang di tempati oleh rakyat biasa.

Tipologi kedua rumah ini adalah dua rumah panggung, lantai memiliki jarak tertentu dari tanah, bentuk denah sama, khususnya persegi panjang. Bedanya saoraja lebih luas ukurannya serta tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup tepi yang biasa disebut timpak laja yang memiliki tiga sampai lima tingkat yang ditunjukkan dengan posisi penghuninya.

Rumah adat Bugis, baik Saoraja maupun Bola, terdiri dari tiga bagian:

Awa bola berada di bawah alas, yaitu antara lantai dan tanah. Lubang ini dulunya digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, alat berburu, memancing, dan hewan peliharaan yang digunakan dalam hortikultura.

Alle bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding yang terletak di antara lantai dan ruang atas. Pada bagian ini terdapat ruangan-ruangan yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari seperti menerima tamu, tidur, berpikir, dan berbagai kegiatan lainnya.

Badan rumah terdiri dari beberapa bagian rumah seperti : · lotang risaliweng, pada bagian depan badan rumah disebut yang berfungsi sebagai ruang jamuan makan, kamar tidur tamu, tempat pertimbangan, tempat menyimpan benih, tempat untuk meletakkan mayat sebelum dibawa ke kuburan.

Lotang ritenggah atau ruang tamu, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil, hubungan sosial antar kerabat lebih banyak terjadi di sini. ·

Lontang rilaleng atau ruang belakang, adalah tempat tidur untuk anak perempuan atau orang tua, dapur juga diposisikan di ruangan ini yang disebut kitcheneng atau jonghe. ·

Rakkeang adalah ruang penyimpanan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil bumi seperti beras, jagung, kacang-kacangan dan hasil bumi lainnya. Seperti elemen sosial lainnya, inovasi arsitektur tradisional terus berubah dan berkreasi.

Hal ini juga mempengaruhi arsitektur tradisional marga Bugis, termasuk bola ugi yang dulunya adalah rumah panggung, saat ini sudah banyak yang diubah menjadi rumah berlantai batu.

Islam juga mempengaruhi area rumah sekarang yang lebih terletak di Ka’bah yang merupakan kiblat umat Islam di seluruh dunia. Hal ini karena budaya Islam telah mengakar di kalangan masyarakat Bugis Makassar, simbol-simbol yang dulunya digunakan untuk mengusir makhluk halus yang biasanya diambil dari jenis tumbuhan dan hewan tertentu diganti dengan tulisan-tulisan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang diberkahi. sebuah

bahasa bugis

Suku Bugis memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan bahasa Bugis (Ugi).
Konsonan dalam Ugi disebut juga Lontara berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis berbicara bahasa Ugi dan telah menulis sastra cukup lama sebagai lontar.

Huruf yang digunakan adalah aksara lontara, sistem huruf yang dimulai dari bahasa Sansekerta.

Seperti halnya dengan bentuk-bentuk budaya lainnya. Produksi tulisan dibuat karena kebutuhan manusia untuk memberikan hasil pemikirannya. Kata lontaraq berasal dari bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar.

Karena pada awalnya tulisan itu ditulis di atas daun lontar. Setiap daun lontar diasosiasikan menggunakan tali dan kemudian digulung pada penjepit kayu, yang bentuknya seperti gulungan pita kaset.

Cara membacanya dari kiri ke kanan.
Lontara Bugis-Makassar adalah surat suci bagi masyarakat Bugis klasik. Huruf lontara digunakan oleh orang Bugis begitu juga huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat Makassar.

Contoh penggunaan bahasa Bugis: “Makan ma’ki (silahkan makan)”.
“Aga tapigau?” (Menurutmu apa yang sedang kamu lakukan?). Partikel yang biasa digunakan dalam bahasa Bugis-Makassar adalah ji, mi, pi, mo, mama’, di’, tonji, tawwa, pale. Contoh penggunaannya misalnya: “no father ji.” (tidak ada bedanya).

pakaian bugis

Pakaian bodo adalah pakaian tradisional orang Bugis dan diperkirakan menjadi salah satu pakaian tertua di planet ini. Perkiraan ini didukung oleh sejarah kain muslim yang menjadi bahan dasar pembuatan baju bodo.

Jenis bahan yang dikenal sebagai Muslin (Eropa), Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur), atau Ruhm (Arab) pertama kali ditukar di kota Dhaka, Bangladesh.

Hal ini mengacu pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad kesembilan belas. Sementara pada tahun 1298, dalam bukunya yang berjudul “The Travel of Marco Polo”, Marco Polo menjelaskan bahwa kain muslim dibuat di Mosul (Irak) dan dipertukarkan oleh pedagang yang disebut Musolini.

Namun tekstur yang ditenun dari benang katun yang ditenun dengan benang katun ini baru dikenal masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya pada abad ke-9, jauh sebelum orang Eropa yang baru mengetahuinya pada abad ke-17, dan terkenal di Perancis pada abad kesembilan belas. – 18.

Kain muslim memiliki rongga dan jarak benang yang renggang sehingga terlihat transparan dan cocok digunakan di daerah tropis dan daerah dengan iklim terik.

Sesuai dengan namanya “bodo” dan artinya pendek, kaos ini tidak diragukan lagi berlengan pendek. Dahulu, pakaian bodo dikenakan tanpa busana sehingga memperlihatkan payudara dan lekuk dada pemakainya, serta disambung dengan sarung yang menutupi pinggang hingga ke tubuh bagian bawah.

Namun, di samping bagian pengaruh Islam di sekitar sini, pakaian yang sebelumnya menunjukkan aurat juga mengalami perubahan. Gaun transparan ini kemudian dipadankan dengan busana dengan warna yang sama, namun lebih ringan. Sedangkan bagian bawah gaun sebagai sarung sutra berwarna senada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *