anwarsigit.com – Hyundai telah melihat kapabilitas industri kendaraan listrik Indonesia dengan membangun lini produksi di Deltamas, Bekasi, Jawa Barat.
VP and COO Hyundai Motor Asia Pacific Headquarters, Lee Kang Hyun mengatakan Indonesia bisa menjadi pelopor mobil listrik di ASEAN. Pasalnya, bangsa ini ditopang oleh sumber daya terpenting untuk pembuatan baterai kendaraan listrik, khususnya nikel.
Lee juga mendukung penuh langkah otoritas publik dalam memberdayakan peningkatan kecepatan industri kendaraan listrik di Indonesia. Salah satu kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Program Percepatan Kendaraan Listrik Berbaterai Untuk Angkutan Jalan.
“Yang paling penting untuk kendaraan listrik adalah baterainya. Indonesia punya nikel, jadi jangan sampai kehilangan kekuatan ini. Saya menerima bahwa Indonesia bisa menjadi pelopor mobil listrik di ASEAN,” kata Lee di acara IDE 2021 sebagai tim dengan Barito Pacific, Kamis (25/3).
Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, Lee menilai industri kendaraan listrik Thailand jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Namun, negara yang disebut Negeri Gajah Putih itu tidak memiliki nikel.
Salah satu perhatiannya adalah pendekatan otoritas publik dalam memberdayakan peralihan ke kendaraan listrik. Di negara-negara berkembang, otoritas publik memberikan subsidi kepada warganya untuk membeli mobil listrik.
Indonesia belum memiliki opsi untuk memberikan subsidi ini kepada konsumen yang membeli mobil listrik. Namun, otoritas publik memiliki kebijakan pendukung lainnya seperti insentif pungutan penjualan barang boros (PPnBM), pengecualian mobil listrik dari aturan ganjil genap di jalan.
Simak penjualan mobil listrik berbasis baterai di Indonesia pada tahun 2020 pada databox terlampir. Mobil besutan Hyundai memimpin dengan penjualan tertinggi.
Infrastruktur pendukung pasar kendaraan listrik juga sedang gencar dibangun. Kantor-kantor pemerintahan harus mulai menggunakan mobil listrik terlebih dahulu.
“Penggunaan oleh otoritas publik bisa menjadi stimulus, bisa juga dengan otoritas publik membuat arahan, misalnya mal dan gedung harus memiliki beberapa stasiun pengisian, sehingga akan memudahkan pengguna kendaraan listrik nantinya,” kata Lee.
Hyundai juga melihat kemampuan industri kendaraan listrik Indonesia. Itulah sebabnya pada 2020 produsen mobil asal Korea Selatan itu akan menginvestasikan hingga US$1,55 miliar atau sekitar Rp. 21,7 triliun (asumsi skala konversi Rp 14.000 per dolar), salah satunya merakit pabrik kendaraan di Deltamas, Bekasi, Jawa Barat.
Namun, dia menegaskan pabrik ini tidak khusus untuk membuat mobil listrik, tetapi juga akan menghadirkan motor bertenaga gas (ICE) atau mobil berbahan bakar minyak.
“Kapasitas produksi di pabrik Deltamas bisa mencapai 150 ribu unit, tidak hanya (delivering) ICE atau hanya EV (electric vehicle/electric vehicle), tapi bisa menciptakan keduanya secara setara. Jadi tergantung seberapa besar market size-nya. setiap kendaraan,” katanya.
Hyundai juga siap mengubah stigma bahwa mobil listrik mahal dengan melepas dua mobil listrik berbasis baterai dengan harga yang sangat wajar, yakni Ioniq dan Kona. Kedua mobil ini dihargai sekitar Rp. 600 juta menjadi Rp. 700 juta untuk setiap unitnya, sehingga mendapat respon yang luar biasa dari konsumen.
“Kami melihat potensinya, beberapa hari lalu di Korea meluncurkan Ioniq 5. Dalam tiga hari giliran menjadi 25 ribu unit, ini luar biasa besar. Di Eropa dalam tiga hari indentnya tergantung 3.000 unit. Jadi idealnya kekuatan ini bisa berdampak pada pola pikir konsumen Indonesia untuk beralih ke mobil listrik,” ujarnya.